Cinta itu.....

Sudah hampir seminggu tiada ku jumpai cempluk. Itu panggilan sayangku untuk mbak pacar. Kami berantem karna hal yang sangat sepele. Karena aku terlalu dekat dengan teman sekelas adiku. Ku kira cempluk cemburu karna aku sering memanggilnya sayang. Cempluk yang selalu ceria, ceroboh, pelupa, dan tidak peka. Dia gadis yang selalu membuatku salah tingkah. Nyaliku selalu menciut ketika mengahadapinya. Gadis ini pemipi yang mudah menyerah. Walaupun begitu aku teramat mencintainya.

Tak ku dengar kabar darinya. Ia tak bisa dihubungi. Aku tak terlalu khawatir, karna cepat atau lambat dia akan menemuiku dengan caranya yang kekanak-kanakan. Aku tahu persis, dia bukan gadis yang mudah berpindah hati. Dia teramat mencintaiku. Hanya mencintaiku.
“Kau yakin tidak pulang sekarang?” Rekan kerjaku menyapa ketika hendak pulang. “Aku masih menunggu seseorang.” “Oke... aku duluan ya.” “Ya.” Sepulang kerja aku duduk di kursi taman. Benar dugaanku. Cempluk akan lewat tempat ini. Aku tak berani menyapa. Dia benar-benar tak tersenyum. Matanya membiru berkantung. Wajahnya pucat. Bibirnya terlihat kering. Ada banyak jerawat di pipinya. Ada apa denganya? Apa dia sakit? Sebaiknya aku menunggu saat yang tepat agar tak terjadi hal yang tak di inginkan.
“Hera... kau tak bersama Sindi?” “Nggak Yon. Kemarin dia nggak masuk kerja. Hari ini aku ada dinas lapangan. Memang dia ngga kasih kabar?” “Hmm... meyakinkan aja.” “Ya uda Yon, aku duluan ya.”
Aku mengangguk kemudian sahabat Cempluku itu masuk mobilnya dan pergi meninggalkanku di teras kedai kopi.
Ini sudah hampir tiga minggu aku tak bertatap dengan mbak pacar ini. Aku resah. Bimbang apa yang harus aku lakukan. Tak biasanya dia begini. Kalaupun marah, orang terdekatnya pasti menjadi tempat sampah semua unek-uneknya.
Gubraakkkk... “Maaf... maaf..” Aku hafal suara itu. Aku berbalik arah. Ku lihat Cempluku dengan baju  mereh kesayanganya. Dia menenteng sesuatu ditanganya. Ia mengayuh sepedanya dengan buru-buru. Ya... selalu ada yang lupa. Ah.. pacarku ini. Ia kembali ke toko kedai kopi kemudian keluar dengan box file dan buku. Aku mengikutinya.
Sindi. Cempluku. Separah inikah pertengkaran kita?
Ku lihat sindi meminum kopi dari cup. Oh... lambungnya sensitif dengan kopi. Aku mengamatinya.
“Kalau perutmu sakit, siapa yang mau mendengar keluhanmu?”
Cempluk tak menoleh. Tak pula menanggapi kalimatku.
“Berapa cup kau mau minum kopi? Lambungmu sakit nanti.”
Cempluk menghabisakan cup ketiga. Dia mengambil satu cup lagi.
“Kau dengar tidak?”
“Apa pedulimu?” Dia beranjak dari duduknya kemudian menghabiskan kopi di tanganya.
“Apa pedulimu? Kenapa aku harus mendengarmu?” Sindi menangis.
“Kenapa aku harus mendengarmu? Tidak pernahkah kau mendengar jerit hatiku?” Suaranya melengking. Ini baru pertama kalinya aku melihatnya benar-benar marah.
Dia mengambil satu cup lagi membuka dan ingin meminumnya. Prak... aku menyahut dan melemparnya ke tepi rerumputan. “Kau sudah gila?”
“Ya... memang kenapa kalau aku gila? Ha?” “Ayolah... Kenapa kau menjadi kekanak-kanakan begini. Hanya karena cemburu kau tak boleh buta seperti ini dengan cinta.”
“Cinta? Tau apa kau soal cinta?” Sindi ambruk tertunduk lemas sambil memegang perutnya. “Apa aku bilang. Kau ini selalu emosional dan tak sabaran.”
Cempluku diam menunduk. “Harusnya kita bicarakan semuanya baik-baik. Bukan melarikan diri seperti ini caranya. Semakin kau menghindariku, hati dan perasaanmu akan semakin sakit.” Ingin ku peluk cempluku, aku tahu dia sedang mengalami masa yang sulit.
“Tolong jangan menyentuhku... Jangan kau sentuh aku.. juga hatiku. Pergilah dan jangan kembali.” Sindi bergumam lemas.
“Cinta itu perjuangan. Ketika kau mencintai, kau tak boleh lelah dan kemudian menyerah. Semua ini adalah jalan yang akan membuat kita semakin kuat. Menguatkan rasa cinta diantara kita. Kalau kau tak cemburu itu artinya kau tak cinta. Sudahlah.. ayo pulang.. nanti kita mampir apotik dulu. Biar perutmu membaik.”
“Kau tak dengar? Jangan sentuh aku juga hatiku!” Nada bicaranya meninggi.
“Kau pikir aku masih mengharap cintamu? Cinta apa? Hem... Aku sudah lupa semua perasaan. Tak usah sok peduli kau. Aku bisa hidup sendiri.”
“Hmm... ya sudah kalau kau tak ingin pulang. Aku sudah menawarkan.” Aku tinggalkan kekasihku di taman. Aku tahu perutnya sedang sakit. Tapi dia harus belajar menahan diri, bersabar, dan mengendalikan emosinya. Dua tiga hari dia pasti merengek menemuiku. Gadisku memang manja dan tak bisa jauh dari hatiku.

Ini hari ke empat setelah pertemuan kami. Aku kembali menunggu di bangku taman. Dua setengah jam Cempluk tak juga kelihatan. Hatiku gusar. Hari ini aku libur kerja. Aku ingin membeli beberapa multivitamin untuk Cempluk. Aku tak mau melihat kesehatanya semakin memburuk.
“Apa ini?” Ku lihat sebuah kotak di depan pintu. Knu buka dan keu temukan beberapa batang coklat.

***Untuk Mas Pacarku Andar***
Aku lelah menatap wajahmu yang dingin. Aku malas melihat bening matamu yang penh harap padaku. Aku sudah terlalu sering membuat kesal. Sudah tak terhitung aku berbuat ulah. Sekarang saatnya kau hidup tenang. Tolong jangan kau sentuh aku juga hatiku. Jangan kau panggil aku cempluk lagi. Jangan kau sebut aku pacarmu. Hiduplah dengan tentram. Sampai jumpa.  Jaga kesehatanmu dan bahagialah.

NB: Ku kira coklat itu menenangkan.

Tuhan... kini aku tak tahu apa yang harus aku lakukan.


Komentar