janji sepasang merpati. Ah... Perempuan itu apa tak bosan membaca novel setebal itu? Batinku. Ya... Aku sore ini kembali berada di meja yang sama, bersama perempuan yang sama yang menemaniku kemarin sore. Hari ini dia datang lebi dahulu. Aku juga belum mengucapkan sepatah kata pun untuk sekedar menyapa. Datang duduk dan membuka laptop.
"Mochacino pesanan kakak." "Terimakasih" Balasku pada pelayan yang mengatar secangkir minuman yang baru beberapa hari aku sukai ini.
"Anter ke sini ya!" Perempuan itu angkat bicara.
Pelayan itu mengangguk.
"Belum pesan?" Aku menyapa Sasa.
Sasa tersenyum.
Tak lama aroma kopi hitam datang. "Aku tak pesan." Kataku pada pelayan.
"Aku yang menyuruhnya." "Mengapa. Siapa kau? Ikut campur urusanku?"
Kali ini panas kepalaku. Sasa sudah keterlaluan. Baru pertama kali ini ada seseorang yang berani menyentuhku. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Tak usah dia memaksaku menikmati apa yang dia suka.
"Aku tahu kau suka mochacino. Aku hanya ingin agar kau menyicipi kopi hitam khas cafe ini."
Aku diam. Aku tak peduli. Aku tahan emosiku.
"Bukankah kemarin kau melihat tiga foto besar di dekat pintu keluar? itu hasil jepretan Almarhum adikmu. Fino."
Aku tercengal. Dari mana dia tahu kalau aku punya adik yang sudah meninggal bernama Fino."Tak usah kaget kak Nana. Anggap kopi itu ucapan terimakasihku. Karna adikmu sudah membuat foto itu untuku."
Aku memandang segelas kopi hitam. "Kenapa kopi hitam Sa?"
"Karna ini minuman kesukaanya. Fino selalu duduk di kursi yang sekarang kau tempati."
"Tunggu dulu kenapa kau tahu namaku Nana? Apa hubunganmu dengan Fino?"
Sasa tersenyum. Dia menyruput kopi hitam itu. Mengambil tiga buah novel tebal dari meja dan meletakanya di pangkuanya. Ia menjauh dari meja ku. Aku kaget. ternyata selama ini dia memakai kursi roda.
Seribu tanya. Siapa sebenarnya Sasa. Apa hubunganya dengan Almarhum adiku Fino. Bagaimana ia tahu kalau aku kakaknya. Ah.. sudahlah. Ini tidak penting.
Kali ini aktifitasku adalah membuat tugas mata kuliah drama klasik. Menulis beberapa narasi dan menikmati mochacinoku. Ah.. matahari tenggelam memang indah dilihat dari kursi ini.
Berjalan pulang aku terhenti di dekat pintu keluar. Ya. Kupandangi lagi tiga foto itu. Sepertinya aku mengenali foto gadis berambut pendek ini. Sangat tidak asing... Sayangnya diambil dari samping dan gelap. Kalau tidak salah ini diambil saat matahari tenggelam di atas bukit atau di lapangan yang luas atau.. entahlah kenapa au berfikir tentang pajangan ini. Sebaiknya aku pulang saja dan berbelanja beberapa keperluan mandi.
"Mochacino pesanan kakak." "Terimakasih" Balasku pada pelayan yang mengatar secangkir minuman yang baru beberapa hari aku sukai ini.
"Anter ke sini ya!" Perempuan itu angkat bicara.
Pelayan itu mengangguk.
"Belum pesan?" Aku menyapa Sasa.
Sasa tersenyum.
Tak lama aroma kopi hitam datang. "Aku tak pesan." Kataku pada pelayan.
"Aku yang menyuruhnya." "Mengapa. Siapa kau? Ikut campur urusanku?"
Kali ini panas kepalaku. Sasa sudah keterlaluan. Baru pertama kali ini ada seseorang yang berani menyentuhku. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Tak usah dia memaksaku menikmati apa yang dia suka.
"Aku tahu kau suka mochacino. Aku hanya ingin agar kau menyicipi kopi hitam khas cafe ini."
Aku diam. Aku tak peduli. Aku tahan emosiku.
"Bukankah kemarin kau melihat tiga foto besar di dekat pintu keluar? itu hasil jepretan Almarhum adikmu. Fino."
Aku tercengal. Dari mana dia tahu kalau aku punya adik yang sudah meninggal bernama Fino."Tak usah kaget kak Nana. Anggap kopi itu ucapan terimakasihku. Karna adikmu sudah membuat foto itu untuku."
Aku memandang segelas kopi hitam. "Kenapa kopi hitam Sa?"
"Karna ini minuman kesukaanya. Fino selalu duduk di kursi yang sekarang kau tempati."
"Tunggu dulu kenapa kau tahu namaku Nana? Apa hubunganmu dengan Fino?"
Sasa tersenyum. Dia menyruput kopi hitam itu. Mengambil tiga buah novel tebal dari meja dan meletakanya di pangkuanya. Ia menjauh dari meja ku. Aku kaget. ternyata selama ini dia memakai kursi roda.
Seribu tanya. Siapa sebenarnya Sasa. Apa hubunganya dengan Almarhum adiku Fino. Bagaimana ia tahu kalau aku kakaknya. Ah.. sudahlah. Ini tidak penting.
Kali ini aktifitasku adalah membuat tugas mata kuliah drama klasik. Menulis beberapa narasi dan menikmati mochacinoku. Ah.. matahari tenggelam memang indah dilihat dari kursi ini.
Berjalan pulang aku terhenti di dekat pintu keluar. Ya. Kupandangi lagi tiga foto itu. Sepertinya aku mengenali foto gadis berambut pendek ini. Sangat tidak asing... Sayangnya diambil dari samping dan gelap. Kalau tidak salah ini diambil saat matahari tenggelam di atas bukit atau di lapangan yang luas atau.. entahlah kenapa au berfikir tentang pajangan ini. Sebaiknya aku pulang saja dan berbelanja beberapa keperluan mandi.
Komentar
Posting Komentar